Retrospektif oleh Makbul Mubarak
Hour of the Wolf adalah
satu-satunya film horor yang dibuat oleh Ingmar Bergman, sutradara
kenamaan Swedia. Alih-alih terpengaruh oleh tradisi horor sebagai suatu
konvensi genre, Bergman tetap membuat film horornya dengan bahan baku
yang sama persis dengan yang ia gunakan ketika membuat drama keluarga (Wild Strawberries), drama psikologis (Persona), drama “religius” (Through a Glass Darkly, Winter Light), bahkan komedi romantis (Smiles of a Summer Night). Bahan baku tersebut antara lain penggunaan close-up yang begitu konstan, pencerapan alam dan kultur Swedia ke dalam gaya bercerita yang lambat, penuh jeda dramatik (dramatic pause), dingin dan kaku.
Laura Hubner menganalisa bahwa secara garis besar, Hour of the Wolf dibuat dengan penekanan yang sangat mirip dengan Wild Strawberries dan Persona,
dimana pada ketiga film tersebut, para karakter beroperasi pada keadaan
antara: antara tidur dan terjaga, antara gelap dan terang, antara sadar
dan kesurupan, dan mereka senantiasa berurusan dengan dunia yang entah
itu dunia dalam diri sendiri ataukah dunia luar di sekitar. (Hubner:
2007)
Dalam Persona, fleksibilitas
subjek dimainkan di antara dua karakter utama, yang terus saling betukar
kesadaran/ketidak-sadaran dari awal hingga penghabisan. Dalam Wild Strawberries,
tokoh Isak Borg yang uzur terus berusaha menyatukan realitas (terutama
waktu) di sekitarnya, baik masa kini maupun masa lalunya, dengan keadaan
di dalam dirinya sendiri. dengan mengetahui struktur kesadaran karakter
dalam Persona dan Wild Strawberries, niscaya akan lebih mudah bagi kita untuk memasuki dunia suami istri Johan dan Alma Borg dalam Hour of The Wolf.
Film dibuka dengan close-up
wajah Alma menghadap kamera, ia merintih hendak bercerita tentang
suaminya. Lewat kilas balik, Alma membawa penonton ke sebuah pulau
tempat ia berlibur bersama Johan Borg suaminya, seorang pelukis yang
sekalian hendak mencari inspirasi. Suatu hari, Borg pulang dengan
keringat dingin bercucuran persis habis dikejar setan. Alma bertanya dan
Borg selalu menjawabnya dengan berpaling. Hari berikutnya ketika Borg
tak di rumah, seorang nenek tua datang dan menyuruh Alma membaca diari
Borg yang diselipkannya di kolong dipan. Alma mengajak penonton sekali
lagi memasuki dunia baru.
Lewat adegan diari, Hour of The Wolf
memasuki dunia yang bercabang dan saling bercampur. Tak ada yang tahu
apakah seluruh adegan berikutnya adalah isi diari atau dunia nyata yang
berlangsung berbarengan dengan Alma membaca diari. Bersama Borg dan
Alma, penonton juga diundang memasuki dunia antara sadar dan tidak.
Dalam dunia itu, Borg diceritakan telah berselingkuh dengan Veronica
Vogler. Veronica Vogler kemudian memasuki layar, tetap dengan tanpa
adanya penjelasan apakah itu dunia dalam diari atau bukan. Berikutnya,
Borg dan Alma diundang makan malam ke sebuah kastil dimana para tuan
rumah berbagi luka. Bergman tetap setia dengan teknik close-up meski sedang adegan makan malam bersama. Bagi Bergman, close-up telah menjadi alat pengisolasi perasaan karakternya meski ia tengah berada di tengah keramaian.
Dalam kastil tersebut, yang horor
bukanlah makhluknya, akan tetapi atmosfirnya. Disini Bergman menantang
pemirsa untuk menebak asal-muasal atmosfir horor tersebut. Apakah
gangguan jiwa? Gangguan setan? Konsekuensi hubungan moral antara Borg
dan Alma? Bergman mengiringi polivalensi horor ini dengan pertanyaan
baru: bagaimana seandainya semua faktor tersebut berpengaruh? Lantas
bagaimana ia bisa diwujudkan dalam plot sinematik? Selanjutnya, semakin
sering Borg berinteraksi dengan para pemilik kastil, semakin posesif
Alma terhadap dirinya. Sikap posesif Alma muncul karena ia yakin sesuatu
yang jahat telah merasuki Borg dan Alma akan berusaha melindunginya.
Sementara Para pemilik kastil, terus saja menggoda Borg dengan
iming-iming akan mengantarkannya pada kebahagiaan abadi bersama Veronica
Vogler, pemilik kastil mengaku bahwa mereka ditugaskan oleh Veronica
untuk menjemput Borg menemuinya. Cinta Alma dan Vogler menyebabkan Borg
semakin kacau. Hanya dengan sebuah diari, Hour of the Wolf berhasil mempersembahkan horor yang melibatkan semua potensi kecurigaan.
Veronica Vogler dan pemilik kastil adalah setan. Ya, Hour of the Wolf
kembali dengan pertanyaan baru. Apakah setan itu jahat? Bukankah
Veronica Vogler menginginkan Borg juga atas nama cinta tanpa
iming-iming? Tak seperti misalnya, pesugihan ular dalam film-film Horor
Indonesia, yang mewajibkan pemujanya tidur dengan Nyi Blorong. Bisa jadi
Vogler menjadi jahat karena kita mendengar cerita dari mulut Alma, yang
cemburu setengah mati karena Borg lebih tertarik pada Vogler. Tokoh
Alma bukanlah tokoh yang sama sekali bersih. Ia menceritakan bahwa
karena hubungannya yang sudah lama dengan Borg, ia merasa semakin
menyerupai lelaki itu. Alma menengarai bahwa, hubungan yang konstan
antar manusia bisa menyebabkan mereka menyerupai satu sama lain.
Kemiripan struktur antara Hour of The Wolf dan Persona
sangat terlihat disini. Intersubjektifitas yang buram antara Alma dan
Borg sama persis dengan yang terjadi antara dua karakter dalam Persona,
yang secara mengejutkan juga bernama (Suster) Alma dan (Elizabeth)
Vogler. Bila demikian adanya, adakah hanya Borg saja yang terpengaruh
oleh setan? Bila menilik posesifitas Alma yang sedemikian kronisnya,
apakah tidak ada kemungkinan Alma, tanpa disadarinya, juga sedang
tersedot ke dalam pusaran kastil setan Veronica Vogler?
Paruh ketiga Hour of The Wolf digunakan Bergman untuk menegaskan bahwa Hour of the Wolf
adalah benar film horor, meskipun sangat minim tensi fisik dan lebih
asik bermain pada ranah kesadaran-tidaksadaran manusia. Bergman
menggunakan satu kebiasaan yang lumayan umum dipakai para pembuat film
horor, yakni sebuah keadaan dimana karakter memasuki labirin yang tak ia
kenal, disambut oleh orang-orang yang mengenalnya dan bahkan paham
betul apa maksudnya. Orang-orang ini bahkan bersedia membantu sang
karakter untuk mencapai tujuannya. Jauh di dalam kastil, Borg disambut
oleh para pembantu Vogler yang tak ia kenal. Borg dipersilakan terus
berjalan menyusuri lorong menuju ke kamar Vogler; menuju klimaks
sekaligus penyelesaian cerita.
Pertemuan Borg dan Vogler tetap saja
didesain untuk mempermainkan kesadaran. Ada orang membuka topeng lilin
dari wajahnya, ada mata dalam gelas, dan tiba-tiba seorang pesulap
datang dan memberi hormat. Borg dan juga penonton kembali dibuat
bimbang; apakah segala keanehan itu benar-benar terjadi atau hanya trik
sulap sebagai intermezo sambutan Vogler?
Bergman tetap menjaga kebimbangan
penonton bahkan ketika film menjelang penghabisannya. Dalam adegan Borg
memeluk Vogler, wajahnya serta-merta berubah menjadi monster, entah
kenapa Borg menjadi mirip sekali dengan Frankenstein (dalam versi asli
yang dibuat tahun 1931). Lewat adegan tersebut, film ini menegaskan
karakternya secara keseluruhan, bahwa penyebab berubahnya Borg menjadi
monster tidaklah sama dengan asal mula kelahiran Frankenstein. Alih-alih
menyerupai kelahiran Frankenstein yang bermula dari percobaan
fisik-saintifik, Hour of the Wolf membedakan dirinya dengan
menampilkan Borg sebagai monster yang lahir dari konflik moral-psikis.
Wajah Max von Sydow menjadi sangat mirip Boris Karloff sebagai
konsekuensi moral karena ia telah minggat dari keluarganya dan memilih
si setan Veronica Vogler.
Namun demikian, suatu kesyukuran
tersendiri bahwa dengan menjadi monster, Borg telah berhasil melampaui
segala tekanan yang berasal dari masa lalunya, hubungan yang buruk
dengan Alma, segala kriminalitas yang pernah dilakukannya. Ah, tapi
bagaimana bila Borg dan Alma sebenarnya adalah satu dan saling
menyerupai? Lantas bagaimana Borg bisa meloloskan diri? Lantas siapa
yang bicara pada penonton pasal diari? Menonton Hour of the Wolf, kita sebaiknya tak percaya dengan apa yang terjadi pada gambar film. Percayalah pada kesadaran diri sendiri.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar